Makna terdalam dari pemusnahan amunisi: sebuah pilihan moral untuk memilih kehidupan alih-alih kehancuran, untuk memilih rekonsiliasi alih-alih permusuhan, untuk memilih harapan alih-alih ketakutan. (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI PANGANDARAN - "Dalam setiap proyektil yang dimusnahkan, ada api kehidupan yang kembali menyala. Ketika kita melepaskan diri dari senjata pemusnah, sesungguhnya kita sedang menemukan kembali kemanusiaan kita yang hampir pupus."
Sebuah peti kayu tua tergeletak di sudut gudang kakekku. Sejak kecil, aku selalu penasaran dengan isinya, namun selalu dilarang mendekat. "Ada sisa perang di dalamnya," begitu kakek selalu berkata dengan raut muka yang berubah sendu. Suatu hari, ketika aku telah cukup dewasa, kakek akhirnya membuka peti itu. Di dalamnya, terbaring rapi beberapa butir peluru berkarat yang tak pernah ditembakkan – sisa-sisa masa ketika ia dipaksa menjadi tentara di era revolusi.
"Ini bukan sekadar logam dan mesiu," ujar kakek sambil mengambil sebutir peluru. "Setiap butirnya adalah nyawa yang bisa kurenggut, tapi juga nyawa yang kupilih untuk tidak kuambil. Setelah perang, aku tak sanggup membuangnya, sebagai pengingat atas pilihan moral yang pernah kubuat."
Keesokan harinya, kakek mengajakku ke sebuah danau kecil. Di tepi danau, ia melemparkan peluru-peluru itu satu per satu ke tengah air. "Hari ini, aku melepaskan beban ini. Biarkan air menelan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kami berdua lalu duduk dalam hening, menyaksikan riak air yang perlahan kembali tenang, seolah tak pernah terganggu.
Kisah kakekku adalah metafora sederhana tentang proses pemusnahan amunisi – sebuah tindakan yang jauh melampaui dimensi teknis semata. Lebih dari sekadar prosedur keamanan atau kebijakan pertahanan, pemusnahan amunisi adalah tindakan moral dan spiritual yang menyentuh esensi terdalam kemanusiaan kita.
Martin Heidegger, filsuf Jerman, dalam karyanya "The Question Concerning Technology" (1977) mengajak kita untuk melihat teknologi bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai cara berada di dunia. Senjata dan amunisi, dalam perspektif ini, bukan semata objek mati, melainkan perpanjangan intensi manusia – manifestasi konkret dari keinginan untuk menguasai, mengendalikan, dan bahkan memusnahkan yang lain.
Dalam tradisi filsafat Timur, konsep "ahimsa" atau tanpa kekerasan yang diajarkan Mahatma Gandhi menekankan bahwa kekerasan bukan hanya merugikan korban, tetapi juga merusak jiwa pelakunya. "Mata untuk mata hanya akan membuat seluruh dunia buta," begitu ungkap Gandhi. Pemusnahan amunisi, dalam konteks ini, adalah langkah nyata menuju pemulihan jiwa kolektif umat manusia.
Secara psikologis, keberadaan amunisi dalam jumlah besar menciptakan apa yang disebut psikolog sosial Robert Cialdini sebagai "weapons effect" – fenomena di mana kehadiran senjata secara tidak sadar meningkatkan agresi dan menurunkan ambang kekerasan. Penelitian yang dipublikasikan dalam "Journal of Personality and Social Psychology" (Berkowitz & LePage, 1967) telah membuktikan bahwa sekadar keberadaan senjata di ruangan dapat meningkatkan perilaku agresif subjek penelitian.
Dalam perspektif agama, hampir semua tradisi besar dunia menekankan kesucian kehidupan. Islam mengajarkan bahwa menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32). Buddhisme dengan konsep "karuna" (belas kasih) menekankan penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan. Kristen dengan ajaran "kasihilah musuhmu" mengajak pada transformasi konflik menjadi rekonsiliasi.
Namun, di tengah ideal-ideal luhur ini, realitas dunia kita jauh berbeda. Menurut data Small Arms Survey (2018), terdapat lebih dari 1 miliar senjata api beredar di seluruh dunia, dengan sekitar 85% di antaranya berada di tangan sipil. Persebaran amunisi bahkan jauh lebih masif dan lebih sulit dilacak. Pasokan amunisi yang berlebih sering kali berakhir di pasar gelap, memperpanjang konflik di berbagai belahan dunia dan memakan korban jiwa yang tidak terhitung.
Di Indonesia sendiri, meski bukan negara produsen amunisi terbesar, tantangan pemusnahan amunisi kedaluwarsa tetap signifikan. Penyimpanan amunisi dalam kondisi tropis dengan kelembaban tinggi mempercepat degradasi material, menjadikan proses pemusnahan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan keamanan. Namun, keterbatasan teknologi dan sumber daya sering kali menghambat proses pemusnahan yang aman dan ramah lingkungan.
Lebih memprihatinkan lagi, di level global, bisnis persenjataan dan amunisi adalah industri yang sangat menguntungkan. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), perdagangan senjata global mencapai nilai lebih dari 100 miliar dolar AS setiap tahunnya. Ekonomi perang ini menciptakan paradoks moral: ketika dunia semakin dilanda krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata, segelintir pihak justru meraup keuntungan dari penderitaan tersebut.
Paulo Freire, pendidik dan filsuf Brasil, dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" (1968) mengajarkan bahwa pembebasan sejati hanya mungkin terjadi ketika baik penindas maupun tertindas sama-sama bertransformasi. Dalam konteks pemusnahan amunisi, hal ini berarti transformasi kolektif dari budaya kekerasan menuju budaya perdamaian – sebuah proses yang melibatkan tidak hanya negara dan institusi, tetapi juga setiap individu.
Johan Galtung, bapak studi perdamaian modern, membedakan antara "perdamaian negatif" (ketiadaan kekerasan langsung) dan "perdamaian positif" (ketiadaan kekerasan struktural dan kultural). Pemusnahan amunisi, meski penting, hanyalah langkah awal menuju perdamaian positif. Tanpa transformasi struktural dan kultural yang mendalam, upaya ini hanya akan bersifat kosmetik dan temporer.
Bagaimana kita, sebagai individu maupun masyarakat, dapat berkontribusi dalam proses pemusnahan amunisi ini? Pertama, melalui edukasi dan kesadaran. Memahami dampak destruktif dari proliferasi senjata dan amunisi adalah langkah awal menuju aksi kolektif. Kedua, desakan pada pembuat kebijakan untuk regulasi yang lebih ketat terhadap produksi, distribusi, dan kepemilikan senjata dan amunisi. Ketiga, dukungan pada inisiatif pelucutan senjata dan program buyback di tingkat komunitas.
Di level yang lebih personal, "pemusnahan amunisi" juga dapat dimaknai secara metaforis sebagai proses melepaskan kebencian, dendam, dan amarah yang tersimpan dalam diri kita. Thich Nhat Hanh, biksu Buddha dan aktivis perdamaian, mengajarkan bahwa kedamaian dunia dimulai dari kedamaian dalam diri. "Perdamaian ada di setiap langkah," tulisnya dalam buku berjudul sama.
Penelitian neuropsikologi kontemporer telah membuktikan bahwa otak manusia memiliki "neuroplastisitas" – kemampuan untuk berubah dan beradaptasi sepanjang hidup. Ini berarti bahwa bahkan setelah terpapar kekerasan atau trauma, otak kita tetap memiliki kapasitas untuk "memprogram ulang" respons kita terhadap konflik. Program-program meditasi berbasis mindfulness di zona konflik seperti Israel-Palestina telah menunjukkan hasil positif dalam membangun jembatan empati antarkelompok yang bertikai.
Di level kebijakan, pendekatan yang terintegrasi antara pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi (DDR) telah terbukti efektif di beberapa negara pasca-konflik. Rwanda, misalnya, setelah genosida mengerikan tahun 1994, berhasil melaksanakan program DDR yang komprehensif yang tidak hanya mencakup pemusnahan senjata fisik, tetapi juga "pemusnahan" kebencian melalui pengadilan komunitas tradisional yang disebut Gacaca.
Namun, seperti kakekku yang memerlukan waktu puluhan tahun untuk akhirnya melepaskan "amunisi" masa lalunya, proses pemusnahan di level kolektif juga membutuhkan kesabaran dan komitmen jangka panjang. Dan seperti peluru berkarat yang tenggelam di danau, tidak semua bekas luka dapat dihapus sepenuhnya – beberapa mungkin tetap membekas sebagai pengingat atas kerentanan dan kekuatan kita sebagai manusia.
Filosofi Jepang kuno, Kintsugi, mengajarkan kita untuk melihat keretakan bukan sebagai cacat yang harus disembunyikan, melainkan sebagai bagian integral dari sejarah objek, yang bahkan bisa membuatnya lebih indah dan berharga. Demikian pula, masyarakat pasca-konflik mungkin tidak akan pernah kembali ke kondisi "pra-perang," tetapi dapat bertransformasi menjadi entitas baru yang lebih tangguh dan berkomitmen pada perdamaian.
Pemusnahan amunisi, dengan demikian, lebih dari sekadar aksi material – ia adalah tindakan simbolik yang menandai komitmen kita pada kehidupan, rekonsiliasi, dan harapan. Ia adalah pengakuan bahwa keselamatan jiwa – baik dalam pengertian literal maupun spiritual – jauh lebih berharga dari kekuatan destruktif yang dapat kita kerahkan.
Seperti kakekku yang melempar peluru-peluru itu ke danau, kita pun diundang untuk melepaskan "amunisi" dalam berbagai bentuknya – kebencian, prasangka, ketakutan, dan keinginan untuk mendominasi. Hanya dengan demikian kita dapat menemukan kembali kemanusiaan kita yang utuh, dan bersama-sama membangun dunia yang tidak dihantui oleh bayangan pemusnahan.
Inilah barangkali makna terdalam dari pemusnahan amunisi: sebuah pilihan moral untuk memilih kehidupan alih-alih kehancuran, untuk memilih rekonsiliasi alih-alih permusuhan, untuk memilih harapan alih-alih ketakutan.
Wallahu a'lam bishawab.
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
Berkowitz, L., & LePage, A. (1967). Weapons as aggression-eliciting stimuli. Journal of Personality and Social Psychology, 7(2), 202-207.
Cialdini, R. B. (2009). Influence: Science and practice (5th ed.). Boston: Pearson Education.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (30th anniversary ed.). New York: Continuum.
Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167-191.
Heidegger, M. (1977). The question concerning technology, and other essays (W. Lovitt, Trans.). New York: Harper & Row.
Nhat Hanh, T. (1991). Peace is every step: The path of mindfulness in everyday life. New York: Bantam Books.
Small Arms Survey. (2018). Global firearms holdings. Geneva: Graduate Institute of International and Development Studies.
Stockholm International Peace Research Institute. (2023). SIPRI yearbook 2023: Armaments, disarmament and international security. Oxford: Oxford University Press.
United Nations. (2014). Integrated disarmament, demobilization and reintegration standards. New York: United Nations.
***
Dapatkan Informasi tentang: INSPIRASI PANGANDARAN (wisata, bisnis, budaya, kesehatan, motivasi, wanita, opini,dan keluarga) hanya di: https://pangandaran.miqraindonesia.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis Produktif dan Kolumnis Pada Aneka Media Online, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.
www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |