Baca Juga
Para pendidik PAUD yang tergabung dalam perkumpulan HIMPAUDI Kabupaten Pangandaran sedang rapat rutin bulanan untuk membicarakan peningkatan mutu dan kualitas pendidik anak usia dini di wilayah Kabupaten Pangandaran. (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI - Ketika Guru PAUD Non Formal Dianggap "Guru Kelas Dua": Mengapa Kita Masih Berpikir Sertifikat Lebih Penting dari Hati?
Pendidikan terbaik terjadi ketika guru PAUD formal dan non formal bersatu, bukan bersaing. Karena pada akhirnya, yang terpenting adalah tawa anak-anak yang bergema di setiap sudut ruang belajar.
Hashtag: #GuruPAUD #PendidikanAnak #KesetaraanGuru #PAUDIndonesia
"Guru terbaik bukanlah yang memiliki sertifikat terlengkap, tetapi yang mampu menyentuh hati anak dengan tulus dan mengubah tangisan menjadi tawa, kebingungan menjadi rasa ingin tahu."
Pernah tidak sih, kalian melihat seorang ibu yang mengajar di playgroup kampung dengan sabar membantu anak-anak belajar mengenal huruf, sementara di sebelahnya ada guru PAUD formal yang sibuk mengeluh gaji kecil? Atau mungkin pernah menyaksikan bagaimana seorang guru yang mengajar di TPA dengan penuh cinta, tapi ketika ada rapat koordinasi pendidikan, dia harus duduk di barisan belakang karena dianggap "bukan guru sesungguhnya"? Hmm, familiar, kan?
Cerita ini bermula dari pengalaman saya beberapa tahun lalu ketika mengunjungi sebuah desa di pinggiran kota. Di sana, saya bertemu dengan Bu Sari, seorang ibu rumah tangga yang mengajar di PAUD non formal dengan gaji seadanya. Setiap pagi, Bu Sari datang lebih awal untuk menyiapkan alat peraga dari barang bekas. Cardboard menjadi puzzle, botol plastik disulap jadi mainan edukatif. Anak-anak antusias belajar bersamanya. Namun ketika ada pelatihan guru, Bu Sari tidak diundang karena tidak memiliki background pendidikan formal.
Ironis memang. Di era modern ini, kita masih terjebak dalam dikotomi formal versus non formal yang sebenarnya tidak relevan lagi. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah tentang memberikan fondasi terbaik bagi masa depan anak-anak, bukan tentang seberapa tebal sertifikat yang dimiliki pendidiknya. Kesetaraan antara pendidik PAUD formal dan non formal bukan sekadar isu administratif, melainkan refleksi dari bagaimana kita memandang esensi pendidikan itu sendiri.
Ketika Sertifikat Berbicara Lebih Keras dari Dedikasi
Sistem pendidikan kita memang unik. Kadang saking uniknya, sampai bikin geleng-geleng kepala. Bayangkan, seorang guru PAUD formal yang baru lulus dan belum pernah berinteraksi dengan anak kecil, langsung dianggap lebih kompeten dibanding Bu Sari yang sudah mengajar selama bertahun-tahun dengan penuh dedikasi. Padahal, anak-anak di kelasnya tumbuh ceria dan berkembang dengan baik.
Diskriminasi ini terlihat jelas dalam berbagai aspek. Dari segi pengakuan profesional, guru PAUD formal mendapat treatment yang berbeda dalam pelatihan, sertifikasi, bahkan dalam forum-forum resmi. Mereka diundang dalam workshop, seminar, dan kegiatan pengembangan kapasitas. Sementara rekan-rekan mereka di PAUD non formal? Seringkali diabaikan, seolah-olah kontribusi mereka tidak berarti.
Belum lagi soal kesejahteraan. Guru PAUD formal memiliki jenjang karir yang jelas, tunjangan, dan berbagai fasilitas. Di sisi lain, pendidik PAUD non formal harus berjuang dengan keterbatasan dana, gaji yang tidak menentu, dan minimnya dukungan dari pemerintah. Padahal, anak-anak yang mereka didik sama-sama membutuhkan perhatian dan kualitas pendidikan yang baik.
Dilema Kualitas versus Kuantitas dalam Dunia PAUD
Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan adalah: apakah kualitas pendidikan PAUD ditentukan oleh formalitas institusi atau oleh kemampuan dan dedikasi pendidiknya? Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak PAUD non formal yang memiliki kualitas pembelajaran sangat baik, bahkan terkadang lebih inovatif dan adaptive dibanding PAUD formal yang terkekang oleh birokrasi.
Saya teringat dengan Pak Budi, seorang pensiunan yang membuka PAUD di garasi rumahnya. Dengan modal seadanya, dia berhasil menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Anak-anak berlomba-lomba datang ke "sekolah garasi" itu karena Pak Budi paham betul cara berkomunikasi dengan mereka. Dia tidak punya ijazah S1 PAUD, tapi pengalamannya sebagai ayah dari lima anak membuatnya memahami dunia anak dengan sangat baik.
Namun, ketika ada monitoring dari dinas pendidikan, PAUD Pak Budi selalu mendapat catatan merah karena tidak memenuhi standar administratif. Ironis, bukan? Anak-anak senang belajar, orang tua puas, tapi sistem menganggapnya tidak memenuhi syarat. Ini menunjukkan betapa kaku dan rigid-nya pandangan kita tentang pendidikan.
Masalahnya bukan pada PAUD formal yang buruk atau PAUD non formal yang sempurna. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menciptakan hierarki yang tidak perlu, yang akhirnya merugikan semua pihak, terutama anak-anak.
Membangun Jembatan Kesetaraan: Tips dan Trik Mewujudkan PAUD yang Inklusif
Sudah saatnya kita mengubah paradigma lama tentang pendidikan PAUD. Kesetaraan bukan berarti menyamakan semua hal, tetapi memberikan pengakuan dan penghargaan yang adil terhadap kontribusi setiap pendidik, apapun background kelembagaannya. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
Pertama, pemerintah perlu membuat sistem sertifikasi dan pelatihan yang inklusif. Pendidik PAUD non formal harus diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti program pengembangan kapasitas. Kedua, perlu ada standar kompetensi yang jelas dan dapat diakses oleh semua pendidik, tanpa membedakan asal institusi mereka.
Ketiga, sistem penilaian PAUD harus lebih holistik. Jangan hanya melihat kelengkapan administratif, tetapi juga kualitas interaksi dengan anak, kreativitas dalam pembelajaran, dan dampak positif terhadap perkembangan anak. Keempat, perlu ada program mentoring dan networking antara PAUD formal dan non formal untuk saling belajar dan berbagi best practices.
Yang tak kalah penting adalah mengubah mindset masyarakat. Orang tua perlu memahami bahwa kualitas PAUD tidak ditentukan oleh gedung megah atau branding formal, tetapi oleh kemampuan pendidik dalam memfasilitasi tumbuh kembang anak. Begitu juga dengan para pendidik sendiri, mereka harus bangga dengan profesinya dan terus berupaya meningkatkan kompetensi, apapun label institusinya.
"Pendidikan terbaik terjadi ketika guru formal dan non formal bersatu, bukan bersaing. Karena pada akhirnya, yang terpenting adalah tawa anak-anak yang bergema di setiap sudut ruang belajar."
Ketika malam hari tiba dan saya merenungkan perjalanan panjang dunia pendidikan kita, hati ini terasa hangat membayangkan masa depan di mana setiap pendidik PAUD mendapat penghargaan yang sama. Di mana Bu Sari tidak lagi harus duduk di barisan belakang, dan Pak Budi tidak lagi mendapat catatan merah karena mengajar di garasi. Semoga suatu hari nanti, kita bisa melihat pendidikan PAUD sebagai sebuah ekosistem yang utuh, di mana formal dan non formal berjalan beriringan untuk masa depan anak-anak Indonesia yang lebih cerah.
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
- Morrison GS. Early Childhood Education Today. 13th ed. Boston: Pearson; 2015.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kemendikbud; 2014.
- UNESCO. Policy Brief on Early Childhood Care and Education. Paris: UNESCO Publishing; 2019.
- Sujiono YN. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks; 2013.
- Bronfenbrenner U. The Ecology of Human Development. Cambridge: Harvard University Press; 1979.
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.