"Orang Indonesia takut mengambil risiko, tapi berani bertaruh. Takut memulai bisnis yang belum pasti, tapi berani utang untuk beli motor baru. Kita semua pendaki gunung, sayangnya gunung yang salah." (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI PANGANDARAN - "Manusia Indonesia lebih takut mencoba hal baru daripada takut mati. Padahal kematian pasti terjadi, sementara kegagalan masih bisa dinegosiasikan dengan kerja keras."
Di sebuah negeri bernama Indonesia, ada pemandangan yang menarik. Sangat menarik. Bahkan lebih menarik dari telenovela produksi negeri tetangga.
Kita memuja kemustahilan. Kita mengagungkan ketidakmungkinan. Kita merayakan keputusasaan.
Seperti penonton opera sabun yang berteriak-teriak pada si tokoh utama: "Jangan lakukan itu! Itu berbahaya! Mustahil berhasil!"
Sementara kita sendiri? Duduk manis di sofa. Dengan camilan di tangan. Tanpa pernah mencoba apa-apa.
Lucu sekali.
Tahun 1952, ketika ditanya mengapa ia ingin mendaki Gunung Everest, Edmund Hillary menjawab dengan sederhana: "Karena gunung itu ada di sana."
Jawaban yang singkat. Padat. Tapi lebih dalam dari Palung Mariana.
Dulu, mendaki Everest adalah kemustahilan. Impian gila. Fantasi berbahaya. Hingga Hillary dan Tenzing membuktikan sebaliknya pada 29 Mei 1953.
Dan lihatlah sekarang. Menurut data dari Otoritas Pariwisata Nepal, pada tahun 2023 sebanyak 667 pendaki berhasil mencapai puncak Everest. Dalam satu musim pendakian. Beberapa di antaranya bahkan masih berusia belasan tahun.
Apa yang berubah? Gravitasi? Tinggi gunung? Komposisi udara di ketinggian?
Tidak. Yang berubah adalah mindset. Persepsi tentang kemustahilan.
Tetapi anehnya, kita masih menganggap hal-hal yang jauh lebih kecil dari Everest sebagai "mustahil" dalam hidup sehari-hari.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan hanya 12% penduduk Indonesia yang pernah memulai bisnis baru. Lebih sedikit lagi yang bertahan lebih dari lima tahun.
Dari wawancara dengan 1.000 responden yang dilakukan oleh Journal of Entrepreneurship Development, alasan utama yang dikemukakan adalah "takut gagal" (46%), "tidak punya modal" (27%), dan "tidak yakin bisa berhasil" (18%).
Padahal, kita hidup di era di mana informasi tersedia secara gratis. Di mana modal bisa dimulai dari skala mikro. Di mana pasar bisa dijangkau melalui smartphone.
Waktu kecil, saya pernah ikut lomba balap karung 17 Agustusan. Saya jatuh di meter pertama. Teman-teman tertawa. Saya menangis dan tidak pernah ikut lomba serupa lagi.
Sekarang saya berpikir: andai saya tidak menyerah, mungkin saya sudah jadi juara balap karung tingkat RT. Bahkan mungkin tingkat RW.
Prestasi yang tidak seberapa memang. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah tentang keberanian mencoba lagi.
Menurut penelitian dari Harvard Business Review, rata-rata pengusaha sukses pernah mengalami kegagalan sebanyak 3,8 kali sebelum akhirnya menemukan formula yang tepat. Artinya, mereka jatuh hampir empat kali sebelum akhirnya bisa berdiri tegak.
Di panggung sandiwara kehidupan, kita lebih suka berperan sebagai penonton daripada aktor utama. Kita lebih nyaman menjadi komentator daripada kreator. Kita lebih memilih mengkritik daripada berkarya.
Minggu lalu, saya menghadiri reuni SMA. Ada teman yang dulu bercita-cita menjadi penulis. Sekarang? Ia masih bicara tentang novel yang "akan" ditulisnya. Selama 20 tahun. Tanpa pernah menulis satu bab pun.
Sebuah adegan tragis dalam drama kehidupan. Yang lebih menyedihkan dari film Korea terpilu sekalipun.
Dan itu bukan kasus terisolasi. Menurut survei dari Lembaga Kajian Mimpi Indonesia (yang saya karang namanya), 78% orang Indonesia memiliki mimpi yang tidak pernah mereka kejar dengan sungguh-sungguh.
Studi dari Journal of Positive Psychology menemukan bahwa orang yang secara konsisten mengambil risiko kecil setiap hari melaporkan tingkat kepuasan hidup yang 34% lebih tinggi dibandingkan mereka yang selalu bermain aman.
Tapi kita tetap memilih zona nyaman. Seperti pemain figuran yang tidak pernah menginginkan peran utama. Seperti penonton yang puas hanya dengan melihat keberhasilan orang lain.
Dalam budaya kita, ada ungkapan "alon-alon asal kelakon" (pelan-pelan asal tercapai). Ungkapan yang bijak. Tapi sering disalahartikan sebagai pembenaran untuk lambat, bukannya hati-hati.
Hillary dan Tenzing tidak mendaki Everest dalam sekejap. Mereka melakukan persiapan bertahun-tahun. Mereka mempelajari rute. Mereka berlatih di gunung-gunung yang lebih kecil. Mereka gagal dalam percobaan pertama.
Tapi mereka tidak berhenti mencoba. Itulah kuncinya.
Bukannya kita tidak punya Everest pribadi. Kita semua punya. Entah itu menulis buku, memulai usaha, belajar keahlian baru, atau sekadar berani bicara di depan umum.
Yang kurang adalah keberanian untuk mulai mendaki. Untuk mengambil langkah pertama. Untuk gagal dan bangun lagi.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita akan tetap menjadi penonton dalam drama kehidupan kita sendiri? Atau kita akan mulai menulis skenario kita sendiri?
Karena sejatinya, kemustahilan hanyalah puncak semu yang tercipta dari kabut ketakutan kita sendiri. Dan satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah dengan mulai mendaki.
"Orang Indonesia takut mengambil risiko, tapi berani bertaruh. Takut memulai bisnis yang belum pasti, tapi berani utang untuk beli motor baru. Kita semua pendaki gunung, sayangnya gunung yang salah."
Arda Dinata, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
* * *
Dapatkan Informasi tentang: INSPIRASI PANGANDARAN (wisata, bisnis, budaya, kesehatan, motivasi, wanita, opini,dan keluarga) hanya di: https://pangandaran.miqraindonesia.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis Produktif dan Kolumnis Pada Aneka Media Online, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.
www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |