Baca Juga
"Sejarah sejati bukanlah yang tertulis di buku-buku, tapi yang tersimpan dalam hati mereka yang mau mendengar bisikan masa lalu." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
INSPIRASI - "Laut tidak pernah menyimpan rahasia selamanya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan kembali kisah-kisah yang telah tertelan gelombang."
Malam purnama di Pantai Batu Hiu selalu membawa kegelisahan tersendiri bagi Aki Darma. Cahaya bulan yang sempurna memantul di permukaan air, menciptakan jalan perak yang membelah lautan hingga ke cakrawala. Namun yang membuatnya resah bukanlah keindahan pemandangan itu, melainkan suara yang selalu terdengar dari balik batu karang raksasa yang menyerupai sirip hiu—suara seorang perempuan yang memanggil namanya dengan nada merdu namun menyayat.
"Darmaaa... Darmaaa..."
Suara itu datang lagi, seperti biasanya ketika bulan purnama tiba. Aki Darma meletakkan jaring yang sedang diperbaikinya dan menatap ke arah Batu Hiu yang menjulang hitam di tengah ombak. Tangannya yang keriput bergetar, bukan karena dingin angin laut, tapi karena ingatan yang tak pernah bisa dilupakannya selama lima puluh tahun.
"Nyai Roro, ampun," bisiknya pelan, suara serak tertahan di kerongkongan.
Ia ingat betul malam purnama lima puluh tahun yang lalu, ketika ia masih muda dan berani mengarungi lautan hingga ke tengah. Malam ketika ia bertemu dengan sosok perempuan cantik berambut panjang yang muncul dari balik Batu Hiu, meminta tolong untuk dibawa ke pantai.
"Tolong aku, Kang," pintanya waktu itu dengan suara yang memikat. "Aku tersesat di laut."
Darma yang masih berusia dua puluh lima tahun langsung terpesona. Perempuan itu cantik luar biasa, kulitnya putih bersih seperti mutiara, matanya hijau seperti air laut yang dalam. Rambutnya yang panjang berkilau basah, menempel di tubuhnya yang hanya dibalut kain sutra tipis.
"Siapa namamu, Neng?" tanya Darma sambil mengulurkan tangan membantu perempuan itu naik ke perahunya.
"Roro," jawabnya singkat. "Roro Kidul."
Darma tidak curiga. Ia pikir perempuan itu hanya kebetulan memiliki nama yang sama dengan legenda Nyai Roro Kidul. Lagipula, sosok di hadapannya tampak begitu manusiawi—bernapas, bergerak, bahkan menggigil kedinginan.
Sepanjang perjalanan pulang, Roro tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di ujung perahu, memandang laut dengan tatapan kosong yang sulit diartikan. Sesekali ia menengok ke arah Batu Hiu yang semakin menjauh, seolah menatap sesuatu yang tidak bisa dilihat Darma.
"Kamu dari mana, Neng?" tanya Darma mencoba mencairkan keheningan.
"Dari jauh," jawab Roro pelan. "Dari tempat yang tidak akan kamu percayai."
Ketika perahu mereka sampai di pantai, Roro tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan tetesan air laut yang masih menempel di wajahnya.
"Terima kasih, Kang Darma," ucapnya. "Kamu sudah menolongku pulang."
"Pulang? Bukannya kamu tersesat?"
Roro tersenyum sedih. "Iya, tersesat. Tersesat dari rumah selama ratusan tahun."
Darma semakin bingung dengan jawaban yang tidak masuk akal itu. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Roro sudah melangkah ke arah laut. Langkahnya tidak menuju pantai, melainkan ke dalam air.
"Neng, mau ke mana?" teriak Darma panik.
"Pulang," jawab Roro tanpa menoleh. Ia terus berjalan hingga air laut setinggi pinggangnya, lalu dadanya, lalu lehernya. Dan yang paling aneh, ia tidak tenggelam. Ia berjalan di atas permukaan air seperti berjalan di tanah datar.
Darma berdiri terpaku di pantai, menyaksikan sosok Roro yang semakin menjauh di atas permukaan laut. Cahaya bulan purnama menyinarinya, membuatnya tampak seperti bidadari yang sedang menari di atas air. Hingga akhirnya sosok itu menghilang di balik Batu Hiu.
Sejak malam itu, setiap bulan purnama, Darma selalu mendengar suara Roro yang memanggilnya dari arah Batu Hiu. Awalnya ia pikir itu hanya halusinasi atau efek trauma. Tapi suara itu terlalu nyata, terlalu jelas untuk disebut khayalan.
"Darmaaa... kembalilah..."
Kali ini suaranya lebih jelas, lebih dekat. Aki Darma bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tepi pantai. Ombak malam itu lebih besar dari biasanya, seolah laut sedang gelisah.
"Nyai, apa maumu dariku?" tanyanya kepada angin malam.
Tidak ada jawaban. Hanya suara deburan ombak yang semakin keras. Tapi kemudian, dari balik Batu Hiu, muncul cahaya hijau kebiruan yang bergerak-gerak seperti api yang menari. Cahaya itu semakin terang, semakin jelas, hingga membentuk siluet seorang perempuan yang berdiri di atas batu karang.
"Darma," suara itu terdengar lagi, kali ini tidak lagi menyerukan namanya, tapi memanggil dengan nada lembut. "Sudah waktunya kamu tahu kebenaran."
Aki Darma merasa kakinya bergerak sendiri. Ia berjalan ke arah laut, masuk ke dalam air yang dingin hingga setinggi lutut. Ombak yang tadinya besar tiba-tiba menjadi tenang, seolah laut sedang menahan napas.
"Kebenaran apa, Nyai?"
Sosok perempuan di atas Batu Hiu mulai bergerak mendekat. Cahaya hijau yang menyelubunginya semakin terang, memperlihatkan wajah yang masih sama cantiknya seperti lima puluh tahun lalu. Hanya saja kali ini ada kesedihan mendalam di matanya yang hijau.
"Aku bukan Nyai Roro Kidul," katanya ketika sudah cukup dekat. "Aku Sari, putri seorang nelayan dari desa ini. Desa yang sudah tenggelam ratusan tahun lalu karena bencana besar."
Darma terhenyak. "Tenggelam?"
"Ya. Desa tempat kamu dilahirkan, desa tempat nenek moyangmu hidup, semuanya kini berada di dasar laut. Batu Hiu yang kamu lihat itu dulunya adalah menara masjid desa kami. Dan aku... aku adalah arwah yang tak bisa tenang karena masih menunggu seseorang dari keturunan desa ini untuk mendengar kisah kami."
Dunia Aki Darma terasa berputar. Ia ingat cerita nenek buyutnya tentang desa asal keluarga mereka yang katanya sudah tidak ada lagi. Tapi ia tidak pernah tahu bahwa desa itu tenggelam ke dasar laut.
"Kenapa aku? Kenapa kamu memilihku?"
"Karena kamu satu-satunya keturunan desa itu yang masih hidup di pantai ini. Yang lain sudah pindah ke kota, melupakan asal-usul mereka. Hanya kamu yang tetap setia pada laut, tetap menjadi nelayan seperti nenek moyangmu."
Sari—bukan Roro—mengulurkan tangannya. "Ikut aku. Aku akan tunjukkan desamu yang sebenarnya."
Aki Darma ragu-ragu. Tapi ada sesuatu dalam mata Sari yang membuatnya percaya. Ia menggenggam tangan yang dingin itu, dan tiba-tiba dunia di sekelilingnya berubah.
Air laut yang tadinya gelap kini menjadi jernih seperti kaca. Di bawah kakinya, ia bisa melihat reruntuhan rumah-rumah, jalan-jalan setapak, dan sawah-sawah yang sudah tertutup lumut laut. Di tengah-tengah reruntuhan itu berdiri menara masjid yang puncaknya menyembul ke permukaan—yang selama ini ia kenal sebagai Batu Hiu.
"Inilah desamu, Darma. Desa Cijulang yang tenggelam pada malam purnama tiga ratus tahun lalu karena gempa besar dan tsunami."
Aki Darma melihat arwah-arwah penduduk desa yang masih berkeliaran di antara reruntuhan. Mereka semua menatapnya dengan pandangan penuh harap, seolah sudah lama menunggu kedatangannya.
"Apa yang kalian inginkan dariku?"
"Ceritakan kepada dunia tentang kami," kata Sari. "Jangan biarkan sejarah desa ini hilang begitu saja. Banyak orang yang perlu tahu bahwa di bawah laut ini ada peradaban yang dulu pernah hidup, pernah berkarya, pernah mencintai dan dicintai."
Aki Darma mengangguk. Ia paham sekarang mengapa selama ini ia selalu merasa terpanggil untuk menjadi nelayan, mengapa ia tidak pernah bisa meninggalkan pantai ini meski anak-anaknya sudah merantau ke kota.
"Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa baru setelah lima puluh tahun?"
"Karena baru sekarang kamu siap mendengar. Dulu kamu masih muda, masih dipenuhi nafsu duniawi. Sekarang, ketika usiamu sudah senja, hatimu sudah bersih untuk menerima amanah ini."
Sari melepaskan genggaman tangannya. Perlahan, sosoknya mulai memudar.
"Ingat, Darma. Setiap kali bulan purnama tiba, datanglah ke sini. Ceritakan kepada siapa saja yang mau mendengar tentang desa yang tenggelam ini. Jangan biarkan kami terlupakan."
"Tunggu!" teriak Aki Darma. "Bagaimana caranya menceritakan hal yang tidak akan dipercayai orang?"
Sari tersenyum untuk terakhir kalinya. "Dengan hati yang tulus, Darma. Kebenaran selalu punya cara untuk menyentuh hati yang mau terbuka."
Sosok Sari benar-benar menghilang. Aki Darma kembali berada di pantai, dengan air laut yang hitam pekat dan Batu Hiu yang menjulang seperti biasa. Tapi kali ini ia tidak lagi melihatnya sebagai batu karang biasa. Ia melihatnya sebagai menara masjid yang menjadi saksi bisu peradaban yang hilang.
Keesokan harinya, Aki Darma mulai menceritakan kisah itu kepada siapa saja yang mau mendengar. Banyak yang menertawakan, menganggapnya pikun atau terlalu lama terpapar terik matahari. Tapi ada juga yang mendengarkan dengan serius, terutama para peneliti dan antropolog yang tertarik dengan sejarah lisan masyarakat pesisir.
Pelan-pelan, kisah Desa Cijulang yang tenggelam mulai dikenal. Beberapa penyelam bahkan melakukan ekspedisi ke dasar laut di sekitar Batu Hiu dan menemukan reruntuhan yang sesuai dengan cerita Aki Darma.
Kini, setiap malam purnama, Aki Darma tidak lagi mendengar panggilan yang menyayat hati. Yang ia dengar adalah bisikan lembut yang berkata "terima kasih" yang terbawa angin laut. Dan di kejauhan, cahaya hijau dari Batu Hiu tidak lagi tampak gelisah, melainkan tenang seperti lilin yang berdoa.
"Sejarah sejati bukanlah yang tertulis di buku-buku, tapi yang tersimpan dalam hati mereka yang mau mendengar bisikan masa lalu."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.