Baca Juga
Mendidik anak adalah investasi paling berharga untuk masa depan. Sayangnya, kita sering lupa bahwa investasi terbaik dimulai dari menghargai para investornya - yaitu guru-guru PAUD yang dengan tulus mengabdikan hidup mereka. (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI - Kisah inspiratif tentang perjuangan guru PAUD non formal yang masih menghadapi diskriminasi. Solusi praktis memanusiakan dan memuliakan para pendidik cilik bangsa dengan pendekatan yang humanis dan berkeadilan.
Hashtag: #GuruPAUDNonFormal #PendidikanBerkeadilan #MemanusiakanGuru #PAUDIndonesia
"Guru PAUD non formal itu seperti pahlawan tanpa kostum super - punya kekuatan luar biasa mendidik anak bangsa, tapi sering dianggap invisible di mata sistem."
Pagi itu, saya melihat Bu Sari sedang mengelap air mata sambil merapikan mainan edukasi di pojok ruang kelasnya yang sederhana. Bukan karena sedih, melainkan karena terharu melihat anak-anak didiknya yang baru saja pulang dengan senyum ceria. "Pak Arda," katanya sambil tersenyum getir, "Kadang saya mikir, kenapa ya nasib kami ini kayak anak tiri? Padahal kami juga mendidik calon pemimpin masa depan."
Cerita Bu Sari ini mengingatkan saya pada folklore (cerita rakyat) tentang Cinderella yang selalu diperlakukan tidak adil oleh saudara tirinya. Bedanya, Bu Sari dan ribuan guru PAUD non formal lainnya adalah Cinderella versi nyata yang setiap hari berjuang tanpa fairy godmother (ibu peri) yang akan mengubah nasib mereka. Mereka hanya berbekal hati yang tulus dan cinta pada dunia pendidikan.
Diskriminasi terhadap pendidik PAUD non formal bukanlah cerita fiksi belaka. Realitas pahit ini telah menjadi fenomena sistemik yang mengakar dalam dunia pendidikan kita. Padahal, esensi mendidik anak usia dini seharusnya tidak dibedakan berdasarkan label formal atau non formal. Anak-anak tidak peduli apakah guru mereka berijazah S1 PAUD atau lulusan kursus singkat - yang mereka butuhkan adalah kasih sayang, perhatian, dan bimbingan yang tepat.
Realitas Pahit Para Pejuang Kecil di Garis Depan
Kondisi guru PAUD non formal di daerah memang memprihatinkan. Mereka sering dipandang sebelah mata karena dianggap tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Padahal, pengalaman mengajar dan dedikasi mereka tidak kalah dengan rekan-rekan yang berlabel formal.
Sistem penggajian yang timpang menjadi bukti nyata diskriminasi ini. Guru PAUD formal mendapat tunjangan sertifikasi yang lumayan, sementara guru PAUD non formal harus puas dengan honor seadanya. Ironi memang, ketika mereka sama-sama bertugas membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Stigma sosial juga turut memperparah keadaan. Masyarakat cenderung lebih menghargai guru yang mengajar di lembaga formal ketimbang yang mengabdi di daycare (tempat penitipan anak) atau PAUD swadaya masyarakat. Seolah-olah kualitas pendidikan ditentukan oleh branding (pencitraan) institusi, bukan kompetensi pengajarnya.
Akar Masalah Diskriminasi Pendidik PAUD Non Formal
Diskriminasi ini tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang menjadi akar masalahnya. Pertama, regulasi pemerintah yang masih parsial dalam memberikan pengakuan dan perlindungan. Kedua, standarisasi pendidikan yang terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan keberagaman kondisi daerah.
Sistem birokrasi yang rumit juga menjadi penghalang bagi guru PAUD non formal untuk mendapat pengakuan setara. Mereka harus melalui proses administratif yang berbelit-belit, padahal energi mereka lebih baik difokuskan untuk mengajar. Bureaucratic maze (labirin birokrasi) ini seolah sengaja dibuat untuk menyulitkan mereka.
Kurangnya advokasi dari pihak-pihak terkait turut memperburuk situasi. Para guru PAUD non formal seringkali tidak memiliki wadah yang kuat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka terjebak dalam lingkaran setan: tidak punya waktu untuk berorganisasi karena sibuk mengajar dengan honor minim, namun tanpa organisasi yang solid, suara mereka tidak akan pernah didengar.
Strategi Jitu Memanusiakan Para Pendidik Cilik Bangsa
Memanusiakan guru PAUD non formal bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Strategi pertama adalah dengan memberikan pengakuan resmi melalui sertifikasi alternatif yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Pemerintah perlu membuat pathway (jalur) khusus untuk validasi kompetensi berbasis pengalaman dan kinerja.
Program pelatihan berkelanjutan juga harus diprioritaskan. Bukan pelatihan asal-asalan yang menghabiskan waktu, tapi pelatihan praktis yang langsung bisa diaplikasikan. Konsep learning by doing (belajar sambil praktik) akan lebih efektif ketimbang teori yang high-level (tingkat tinggi) tapi tidak applicable (dapat diterapkan).
Pemberdayaan ekonomi melalui skema bantuan modal usaha sampingan bisa menjadi solusi kreatif. Guru PAUD non formal perlu diversifikasi penghasilan agar tidak bergantung sepenuhnya pada honor mengajar. Program micro-financing (pembiayaan mikro) khusus pendidik bisa menjadi terobosan yang game-changing (mengubah permainan).
Tips dan Trik Memuliakan Pendidik PAUD Non Formal di Daerah
Mulailah dari yang kecil namun konsisten. Bentuk komunitas guru PAUD non formal di tingkat desa atau kecamatan untuk saling berbagi pengalaman dan dukungan moral. Peer support (dukungan sesama) terbukti ampuh mengatasi rasa insecure dan meningkatkan motivasi kerja.
Manfaatkan media sosial sebagai platform advokasi dan networking (jejaring). Dokumentasikan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, lalu bagikan ke publik. Public awareness (kesadaran publik) yang terbangun akan membantu mengubah stigma negatif menjadi apresiasi positif.
Jalin kemitraan strategis dengan lembaga-lembaga terkait, baik pemerintah maupun swasta. Program corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) bisa diarahkan untuk mendukung guru PAUD non formal. Win-win partnership (kemitraan saling menguntungkan) seperti ini akan sustainable dan memberikan dampak jangka panjang.
"Mendidik anak adalah investasi paling berharga untuk masa depan. Sayangnya, kita sering lupa bahwa investasi terbaik dimulai dari menghargai para investornya - yaitu guru-guru PAUD yang dengan tulus mengabdikan hidup mereka."
Di penghujung renungan ini, mari kita ingat bahwa setiap anak yang cerdas dan berkarakter adalah hasil karya tangan dingin para guru PAUD. Tidak peduli mereka berlabel formal atau non formal, dedikasi mereka sama mulianya. Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan mereka sebagai second-class citizens (warga kelas dua) dalam dunia pendidikan. Karena sejatinya, tidak ada perbedaan antara hati yang tulus mendidik - baik yang bergelar sarjana maupun yang berbekal pengalaman dan kasih sayang.
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka:
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kemendikbud; 2014.
- Suyadi, Dahlia. Implementasi dan Inovasi Kurikulum PAUD 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2016.
- Morrison GS. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Edisi ke-5. Jakarta: Indeks; 2015.
- Hapidin, Yenina. Pengembangan Model Pelatihan Kompetensi Pedagogik bagi Guru PAUD Non Formal. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. 2019;3(2):168-175.
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.