Baca Juga
"Warisan terbesar yang bisa kita tinggalkan bukanlah harta, melainkan kemampuan untuk memilih dengan bijak di antara cinta dan tanggung jawab." (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI - Seorang gadis bernama Sari menemukan pusaka leluhur yang mengikatnya pada janji kuno dengan penguasa laut selatan, membawanya pada pilihan antara cinta duniawi dan takdir yang telah tertulis dalam deburan ombak Pantai Karangtirta.
"Laut itu tidak pernah lupa, ia hanya menunggu janji yang tepat untuk ditagih."
Sari menatap kalung zamrud tua yang berkilau redup di telapak tangannya. Pusaka nenek moyang yang baru saja diserahkan ibunya sebelum ajal menjemput. Di sela-sela napas terakhirnya, ibu berbisik tentang janji yang mengikat darah mereka dengan penguasa laut selatan—sebuah rahasia yang selama ini tersimpan rapat seperti mutiara di dasar samudra.
"Anakku," kata ibu dengan suara serak, "pusaka ini adalah ikatan kita dengan Nyai Roro Kidul. Generasi pertama keluarga kita pernah diselamatkan-Nya dari badai. Sebagai balasannya, setiap seratus tahun, satu gadis dari keturunan kita harus..." Kalimat itu terpotong napas yang tak kembali.
Kini, tiga bulan setelah pemakaman, Sari berdiri di tepi Pantai Karangtirta dengan kalung itu melingkar di lehernya. Angin laut bertiup kencang, membawa aroma garam dan sesuatu yang lebih tua—aroma misteri yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ombak menghantam karang hitam dengan ritme yang teratur, seolah sedang menyanyikan lagu penantian.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu datang ke pantai ini bukan tanpa alasan. Sejak menerima pusaka, mimpi-mimpi aneh mulai menghantuinya. Dalam tidur, ia melihat sosok wanita berambut panjang yang mengenakan kebaya hijau tosca, berdiri di atas ombak sambil memanggil namanya. Mata wanita itu seperti permukaan laut—dalam, tenang, namun menyimpan badai.
"Sari..." Suara itu datang lagi, kali ini bukan dalam mimpi. Ia menoleh ke segala arah, tetapi pantai tampak sepi. Hanya ada dirinya, pasir putih, dan hamparan laut yang membentang tanpa ujung.
"Kau sudah datang." Kali ini suara itu jelas terdengar dari arah laut. Sari melihat sosok yang familiar—wanita dalam mimpinya kini berdiri di atas air, mendekati pantai dengan langkah yang tidak basah.
"Nyai..." Sari berbisik, tubuhnya bergetar antara takut dan kagum.
"Sudah waktunya, anak cucu Nyi Suminar." Roro Kidul tersenyum, wajahnya cantik namun mengandung kesedihan yang mendalam. "Nenekmu yang pertama kuselamatkan dari badai besar seratus lima puluh tahun yang lalu. Ia hamil saat itu, dan aku tahu darahnya akan melahirkan generasi yang kuat. Sebagai balasannya, ia berjanji bahwa salah satu keturunannya akan menjadi pendamping dalam keabadian."
Sari meremas kalung di dadanya. "Tapi saya punya kehidupan di darat. Saya akan menikah bulan depan dengan Bayu, kami sudah berencana membangun keluarga..."
"Cinta manusia itu singkat, sayang. Seperti buih di lautan—indah sesaat, lalu lenyap." Roro Kidul mengulurkan tangannya. "Bersamaku, kau akan abadi. Akan melihat peradaban bangkit dan runtuh, akan menjadi saksi sejarah yang tak tertulis."
Angin semakin kencang. Ombak mulai naik, membasahi kaki Sari. Ia merasa ada kekuatan gaib yang menariknya ke laut, tetapi hatinya masih tertambat pada kehidupan yang ia bangun di darat.
"Mengapa harus saya?" tanya Sari dengan suara bergetar.
"Karena kau yang terpilih. Darahmu paling murni, jiwamu paling kuat." Roro Kidul melangkah lebih dekat. "Dan karena cinta yang kau rasakan pada lelaki itu... akan membuatmu memahami pengorbanan sejati."
Sari terdiam. Ia teringat wajah Bayu yang menunggunya di rumah, cincin pertunangan yang berkilau di jari manisnya, dan rencana-rencana masa depan yang telah mereka susun bersama. Namun ia juga merasakan beban sejarah yang mengalir dalam darahnya—hutang budi yang telah berusia lebih dari satu abad.
"Aku tidak bisa memilih untuk diriku sendiri," kata Sari akhirnya. "Pilihan ini bukan hanya tentang hidupku, tetapi juga tentang kehormatan keluarga dan janji yang sudah diberikan."
Roro Kidul mengangguk perlahan. "Kebijaksanaan sejati. Itulah mengapa kau yang terpilih."
Tiba-tiba, kalung zamrud di dada Sari berkilau terang. Dalam kilauan itu, ia melihat visi masa lalu—neneknya yang pertama, seorang wanita hamil yang terdampar di tengah badai, diselamatkan oleh tangan yang muncul dari dalam air. Ia melihat janji yang diucapkan dengan air mata syukur, dan bagaimana janji itu turun-temurun menjadi takdir.
"Tapi," Roro Kidul melanjutkan dengan senyum misterius, "siapa bilang pengorbanan harus berarti kehilangan?"
Sari mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?"
"Pusaka yang kau kenakan itu bukan hanya ikatan, tetapi juga kunci. Dengan itu, kau bisa memilih cara memenuhi janji—menjadi pendamping abadi, atau..." Roro Kidul terdiam sesaat, "menjadi penjaga yang berdiri di antara dua dunia."
"Penjaga?"
"Ya. Kau akan tetap hidup di darat, menjalani kehidupan normal, tetapi sekali dalam setahun kau harus datang ke sini. Menjadi mata dan telinga-ku di dunia manusia, melindungi pantai ini dari mereka yang akan merusaknya, dan meneruskan cerita ini kepada generasi selanjutnya."
Sari merasakan beban di dadanya sedikit terangkat. "Dan jika saya memilih jalan itu?"
"Kau akan memiliki umur yang panjang, kemampuan merasakan panggilan laut, dan tanggung jawab menjaga keseimbangan antara daratan dan lautan." Roro Kidul mengulurkan tangannya lagi. "Tapi ingat, pilihan ini juga berarti keturunanmu akan mewarisi takdir yang sama."
Sari melihat ke arah daratan, di mana lampu-lampu desa mulai menyala. Di sana, Bayu menunggu. Di sana, kehidupan normalnya menanti. Tetapi di sini, di hadapan ratu laut, ia juga merasakan panggilan yang tak bisa diabaikan—panggilan darah, sejarah, dan tanggung jawab.
"Saya pilih menjadi penjaga," katanya akhirnya.
Roro Kidul tersenyum lebar. "Pilihan yang bijak. Kau telah memahami bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang melindungi."
Kalung zamrud di dada Sari bersinar semakin terang, lalu cahayanya meredup. Ia merasakan perubahan dalam dirinya—koneksi baru dengan laut, kemampuan mendengar bisikan ombak, dan pemahaman mendalam tentang keseimbangan alam.
"Sekarang pergilah," kata Roro Kidul, sosoknya mulai memudar. "Jalani hidupmu dengan lelaki yang kau cintai. Tapi ingat, setiap tanggal lahirmu, kembalilah ke sini. Dan suatu hari nanti, ceritakan ini kepada putrimu."
Sari mengangguk. Ia berjalan mundur dari pantai, tetapi sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi. "Nyai, mengapa Anda memberikan pilihan ini kepada saya?"
"Karena pengorbanan terbesar bukanlah kehilangan yang kau cintai," jawab suara yang semakin samar, "tetapi menemukan cara untuk mencintai dengan tanggung jawab."
Sari berjalan pulang dengan hati yang tenang. Keesokan paginya, ia akan menceritakan semuanya kepada Bayu. Tidak semua rahasia, tetapi cukup untuk membuat lelaki itu memahami bahwa wanita yang dicintainya memiliki ikatan khusus dengan laut.
Tiga bulan kemudian, di hari pernikahannya, Sari mengenakan kalung zamrud pusaka sebagai perhiasan penganting. Saat petugas nikah membacakan janji pernikahan, ia merasakan angin laut bertiup lembut, seolah memberkati pilihannya.
Dan pada malam pertama setelah pernikahan, ketika Bayu bertanya tentang kalung yang selalu dikenakannya, Sari menjawab dengan senyum misterius: "Ini adalah warisan nenek moyang. Pengingat bahwa cinta sejati adalah tentang menjaga, bukan memiliki."
Bertahun-tahun kemudian, ketika putri mereka, Laras, berumur tujuh tahun dan menunjukkan ketertarikan luar biasa pada laut, Sari tahu bahwa waktunya akan tiba. Takdir akan terus berlanjut, tetapi kini dengan pilihan yang lebih bijak—pilihan yang mengajarkan bahwa pengorbanan dan cinta bisa berjalan berdampingan.
Di Pantai Karangtirta, ombak terus menyanyi. Nyai Roro Kidul tersenyum dari dalam istana lautnya, mengetahui bahwa keseimbangan telah terjaga. Dan Sari, kini seorang ibu, memahami bahwa menjadi penjaga bukan berarti kehilangan kebebasan—tetapi menemukan makna sejati dari tanggung jawab.
"Warisan terbesar yang bisa kita tinggalkan bukanlah harta, melainkan kemampuan untuk memilih dengan bijak di antara cinta dan tanggung jawab."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.